Thursday, December 29, 2005

Untuk Yang Mencoba Memahami Wanita

Buat saudaraku Ebi, Ghofar, dan Warsito yang tengah resah mencari cinta dan terengah mencoba memahami arti hadirnya seorang wanita.

WANITA

Wanita adalah keindahan
keindahan yang tidak bisa dipahami
karena memang
Tuhan menciptakan wanita bukan untuk dipahami
tapi untuk dicintai dan dikasihi
tempat berbagi keluh kesah hati
walaupun keluh kesah itu sendiri
sumbernya adalah wanita-wanita juga
Tidakkah kau mengerti?

Buat apa punya anak, Den?

Pagi itu di Masjid Westall, sebuah pertanyaan dari Kang Atip mengusik pikiranku, "untuk apa sih kita meminta kepada Allah dikaruniai anak?" Hmm buat apa ya? setelah sekian tahun perjalanan pernikahan kami, setelah sekian banyak do'a dipanjatkan untuk mendapatkan anak, setelah berbagai upaya untuk memperoleh keturunan, sesunguhnya aku belum sungguh-sungguh mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
Sederet jawaban bisa kita susun sebagai justifikasi; fitrah manusia yang menginginkan hadirnya seorang anak, keinginan untuk melanggengkan garis keturunan, buah cinta yang kan mempererat tali pernikahan, "tuntutan" dalam kehidupan bermasyarakat, dan sederet alasan lainnya. Hati kecil bertanya, benar itukah jawabnya? mungkin ya. Tapi mungkin juga... sekedar untuk memenuhi ego, nafsu pribadi yang tidak ingin dianggap mandul, sekedar ingin menyudahi pertanyaan puluhan mulut "Gimana, istri sudah isi belum?".
(sungguh besar perhatian sahabat dan saudaraku itu, namun terkadang aku capek menjawabnya).

Jadi buat apa punya anak, Den? Kang Atip mengajak kita belajar dari Nabi Ibrahim. Beliau berdo'a siang dan malam agar dikaruniai keturunan. Buat apa? untuk meneruskan risalah yang dibawanya dan amanat dakwah yang diembannya. Teringat kisah Luqman dalam Al Qur'an yang merisaukan aqidah anak-anaknya sepeninggalnya kelak. Terngiang kisah para orang tua yang korupsi demi menyenangkan anak-anaknya. ahh ternyata "fitnah" bernama anak itu tidak mudah dijaga.

Belajar dari Ibrahim, mungkin itu pula yang mendasari keinginan para ulama kita untuk menjadikan anak-anaknya sebagai pengemban amanat dakwah. Para peminpin pesantren biasanya menyiapkan anak laki-laki sebagai penerusnya. Bila cuma ada anak perempuan, maka dicarikanlah santri yang paling cerdas (dan tampan tentu saja ^0^) sebagai menantunya.
Hmm kalo saja aku dulu masuk pesantren, mungkin sudah jadi mantunya Pak Kiai
Gubrakk

Kembali ke Khittah, Kembali ke Tik-Tak Jaipong

“Beginilah seharusnya sepakbola Indonesia dimainkan”, demikian seru para pengamat sepakbola mengomentari permainan Persib di era 80-an. Bermaterikan pemain berskill diatas rata-rata seperti Adjat Sudrajat, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Sukowiyono, Iwan Sunarya dan lain-lainnya, Maung Bandung kala itu memainkan permainan tik-tak dengan umpan-umpan pendek merapat menyusur tanah diselingi oleh umpan panjang menyilang memanfaatkan lebar lapangan. Setiap kali seorang pemain Persib menguasai bola maka otomatis dua orang rekannya akan berlari didekatnya membentuk sebuah segitiga yang siap menggedor pertahanan lawan atau menjinakkan serangan lawan. Dan bola pun ber-“jaipong” dalam segitiga Maung itu. Cantik !
Tik-tak segitiga tersebut bisa membuat pamain dan pelatih lawan hilang akal. Dibutuhkan tiga orang pemain untuk mempresure segitiga itu. Manakala hal tersebut dilakukan lawan maka para pemain Persib mendemonstrasikan umpan-umpan panjang menyilang atau menusuk jantung pertahanan lawan. Maut !
Permainan tik-tak satu dua sentuhan menyusur tanah sekarang ini sulit kita temui dalam permainan Persib Maung Bandung. Padahal taktik tersebut terbukti bisa membuat Persib mengharubirukan kancah persepakbolaan nasional. Kenapa tidak dipakai lagi? Apakah karena pelatih Persib merasa sudah memiliki taktik lain yang lebih jitu? Dari hasil Ligina beberapa tahun terakhir terbukti strategi yang diterapkan Pelatih Persib belum memuaskan.
Lantas apa? Apakah karena skill pemain Persib sekarang tidak memungkinkan untuk memainan “tik tak jaipong” seperti dulu? Bisa jadi. Pelatih mestinya yang paling tahu masalah kemampuan anak didiknya. Namun saya pikir, masih cukup waktu untuk mengasah kemampuan tik-tak pemain sebelum kompetisi digulirkan kembali.

Cerpen: Kuasa Sebuah Nama

Atas permintaan seorang teman, cerpen lama ini saya posting disini saja.

Kisah ini fiksi belaka, kalau ada kesamaan nama atau peristiwa, tentu bukanlah sesuatu yang tidak disengaja.

“Konsultan brilian itu, dapat ide dari mana sih? Apa terlalu banyak chatting dengan alien. Atau sudah sering dugem di Venus. Gila aja ngasih nama bank seperti itu gitu. Memangnya kita mau buka Kantor Cabang di Uranus?”
“Aduh segitu sewotnya si Doni. Gak rela ya nama Bank Baliku dilikuidasi”, goda Rini sambil meneguk segelas sari buah punch dingin, yang terdiri dari campuran semangka, raspberry, leci, lime dan sirup markisa. Hmm, cukup manjur membasuh kering di kerongkongan. AC di Café sebetulnya cukup dingin, namun suasana panas dari ruang meeting tadi masih terbawa sampai sini.
“Bukan begitu Rin, elu lihat sendiri kan list nama baru buat bank hasil merger yang dipresentasikan oleh konsultan Start Trek tadi. Ada Bank Qiqa, Bank Ixi, Bank Spertha, Bank Circa, Bank Aira, bank apa lagi Ndra?”
“Bank Linka, Bank Creo, Bank Axia, Bank Qua, maksudnya bank gua kali ya. Ha ha ha. Pokoknya ajaib lah. Anak gua gak bakalan mau mengerjakan PR bahasa Indonesia kalau tahu bahasa itu sudah tidak laku lagi”, jawab Rendra sambil menyuapkan sepotong roti berbentuk pita yang melingkar-lingkar diisi campuran tuna dengan adonan mayonaise dan selada air.
Obrolan di Café Thamrin siang itu melanjutkan meeting di BPPN membahas nama baru buat bank hasil merger lima bank. Shakespeare bisa saja bilang apalah arti sebuah nama. Tapi buat orang bisnis macam mereka, nama adalah aset. Senjata vital untuk berperang di pasar. Menurut Rendra, nama Bank Yuniversal, tempat kerjanya dulu, sudah memiliki brand image yang bagus untuk retail banking. Dengan nama baru hasil merger lima bank nantinya, image seperti itu harus dibuat lagi dari awal. Dan itu tidak murah dan juga tidak mudah. Namun BPPN sebagai pemegang saham mayoritas kelima bank tersebut punya pertimbangan lain. Menurut penuturan Vicoy yang sudah bertahun-tahun malang melintang di BPPN, berdasarkan masukan dari konsultan yang punya reputasi internasional, bank hasil merger semestinya mempunyai corporate image yang baru. Untuk itu nama baru, logo baru citra baru dan manajemen yang baru adalah suatu kaharusan. Tanpa itu semua, masyarakat akan tetap mengingat bank tersebut sebagai kumpulan bank-bank bangkrut.
“Mas Vic, kenapa sih petinggi di kantor Mas itu mesti menyewa konsultan segala buat sekadar mencari nama?”
“Ah jangan berlagak bego begitu Rin. Buat Boss-boss BPPN, makin banyak proyek sama dengan makin banyak komisi. Begitu kan Mas Vic?” seru Doni bersemangat.
Vicoy yang ditanya hanya senyam-senyum saja. Hampir seluruh panca inderanya masih terfokus pada grilled chicken cajun roll sandwich. Sandwich yang diisi dengan Potongan-potongan ayam dipanggang, dicampur dengan saus yoghurt. Campuran daging itu dimakan bersama selada air, avokad, tomat, bawang bearnaice, dan coriander. Rasanya, hmmmm....antara gurih dan pedas yang berloncatan di lidah dan rasa segar sayur-sayuran. Untuk sekerat sandwich seperti itu, ditambah makanan pembuka, minuman dan makanan penutup, tak kurang dari 100 ribu perak harus dirogoh. Uang sebesar itu, buat Sumarni buruh kecil di Tangerang bisa untuk makan siang satu bulan penuh. Tapi Vicoy enjoy saja, toh koleganya dari bank-bank itu yang akan menggesek kartu kredit untuk membayar bill-nya.
“Enak betul Konsultan D’Makky Makky itu, kita harus bayar satu milyar Cuma untuk 10 nama alien. Artinya seratus juta per-nama. Mendingan buat bayar bonus akhir tahun gue”.
“Duh si Rini ini. BPPN itu biasa berurusan dengan nominal triliyun. Jadi semilyar dua milyar sih receh buat mereka”.
“Betul, yang penting ada proyek. Makin gede proyek kan makin gede komisinya”, timpal Rendra.”Tapi Lu jangan lupa Don, kalau gak ada Tim Merger ini kita juga gak bakalan dapet pemasukan tambahan. Jangan-jangan bank kita malah ditutup dan kita dirumahkan tanpa pesangon”.
“Gue ngerti masalah itu. Tapi mbo’ ya jangan kebangeten gitu lho. Lihat saja boss-boss Mas Vicoy ini di BPPN. Rumahnya beranak-pinak, mobilnya gonta-ganti terus. Belum lama beli Mercy new eyes, eh udah ganti lagi dengan Mercy mata kacang. Belum lagi depositonya. Wah korupsinya berapa tuh?”
“Eit, jaga perkataanmu Kawan”, potong Rendra. “Kita jangan gampang berburuk sangka, belum tentu mereka itu korupsi. Siapa tahu mereka miara tuyul”
Sontak semau tertawa, tidak jelas apanya yang lucu. Korupsi ataupun miara tuyul bukanlah sesuatu yang lucu. Obrolan terus berlanjut. Dalam pertemuan informal seperti inilah biasanya lobi-lobi lebih effektif dan keputusan-keputusan penting dibuat, entah sambil main golf, karaoke, kongkow di resto dan café, atau sambil dipijat di klub eksekutif.
******

Saturday, December 17, 2005

Starting a new habit

Sebuah situs yang didedikasikan oleh komunitas E-Learning, www.ilmukomputer.com, mengusung pesan "ikatlah ilmu dengan menuliskannya". Mereka bergiat untuk menyebarkan ilmunya secara gratis melalui media internet. Teringat pesan para ulama bijak untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmu walau sedikit. Ibarat sebuah pohon, ilmu tanpa amal laksana pohon tanpa buah. Sedangkan amal tanpa ilmu, seperti monyet pemetik buah kelapa, tidak tahu ada daging kelapa nan lezat dari buah yang dipetiknya.
Sungguh aku merasa iri kepada mereka yang mampu dan mau berbagi ilmu kepada orang yang membutuhkan. Berapa banyak tabungan amal yang berhasil mereka himpun?
Teriring semangat untuk mulai berlatih menulis, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaan, bismillah aku mulai mengikat.. entah apa... dengan menuliskannya. Bukan ilmu yang bermutu ataupun nasihat yang bermanfaat, blog ini mungkin hanya berisi omong kosong, tempat buat mengigau di alam maya.
Inilah indahnya dunia maya, dimana orang bodoh seperti akupun diberi tempat untuk menulis dan mengemukakan pendapat (walaupun belum tentu ada yang membaca atau mendengarnya he he he).
Ironi yang indah.

MERDEKA!