Tuesday, July 27, 2010

Menimbang Effektifitas Remunerasi di Kementerian Keuangan

(Dimuat pada Detik.com Rabu, 14/04/2010 18:16 WIB)

September 2000, seorang pegawai Ditjen Pajak di Jakarta dimutasikan dari Bagian Pemeriksaan ke Bagian Tata Usaha. Alasan utamanya karena dia seringkali tidak mau ”berkompromi” atas hasil pemeriksaannya. Pegawai tersebut adalah seorang Akuntan lulusan DIII STAN dan S1 Universitas Indonesia dengan predikat Cum Laude Satu bulan kemudian, dia mundur dari PNS untuk selanjutnya bekerja di salah satu perusahaan multinasional terkemuka.

***

Merebaknya Kasus Gayus Tambunan, ditanggapi oleh sebagian politisi DPR dan pengamat dengan usulan pencabutan remunerasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya Ditjen Pajak. Hal ini karena remunerasi dinilai tidak effektif mencegah korupsi. Kegeraman masyarakat terhadap markus pajak yang disuarakan oleh politisi DPR tersebut adalah hal yang dapat dipahami. Namun demikian, apakah pencabutan remunerasi Kemenkeu yang merupakan salah satu elemen dalam reformasi birokrasi, merupakan solusi yang tepat atau sekedar usulan emosional belaka?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua aspek yang perlu diperhatikan yaitu effektifitas Program Reformasi Birokrasi dilihat dari sisi peningkatan pelayanan kepada publik, serta dari sisi peningkatan penerimaan Negara.



Peningkatan Pelayanan Publik

Mengutip pernyataan Menteri Keuangan, upaya reformasi yang dilakukan oleh Kemenkeu seolah dikerdilkan apabila hanya dikaitkan dengan pemberian remunerasi. Padahal inti dari program reformasi birokrasi adalah memberikan pelayanan publik yang lebih baik, dan meningkatkannya secara terus menerus. Reformasi yang dirintis sejak akhir tahun 2002, melalui penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen Sumber Daya Manusia, secara objektif sudah menunjukkan hasil.
Penelitian Universitas Indonesia pada akhir 2007 menunjukkan bahwa mayoritas responden (63,6%) menyatakan puas atas pelayanan Kemenkeu setelah dilaksanakannya program Reformasi Birokrasi. Survey AC Nielsen (2005), menunjukkan bahwa indeks kepuasan konsumen (IQ Index) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar yang sangat tinggi, yaitu sebesar 81, lebih besar dari rata-rata tingkat kepuasan pelayanan public secara nasional sebesar 75. Konsultan Hay Group yang juga meneliti tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pelayanan Kemenkeu, dengan fokus pada Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai di Tanjung Priok dan Batam, ternyata memperoleh hasil senada dengan penelitian UI dan A.C. Nielsen.

Tingkat kepuasan yang tinggi ini tentunya merupakan kontribusi dari proses bisnis yang terintegrasi, ringkas, dan relatif cepat. Misalnya saja di masa lalu, seorang pengusaha harus berurusan dengan seksi PPh Badan dan seksi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Kantor Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB). Apabila terjadi perbedaan perhitungan pajak sang Wajib Pajak (WP) akan berurusan dengan Kantor Pemeriksaan Pajak (Karikpa) dan seksi Keberatan di KPP. Setelah reformasi, WP cukup bertemu dengan seorang Account Representative di kantor pajak modern, kantor dimana seluruh fungsi pelayanan KPP, KPBB, dan Karikpa diintegrasikan, serta dimungkinkan membayar pajak melalui mesin ATM dan bank. Contoh lainnya di BapepamLK, dimana Jenis layanan pendaftaran emiten, hanya membutuhkan waktu 35 hari kerja sejak Pernyataan Pendaftaran diterima secara lengkap. Proses ini 10 hari lebih cepat dibandingkan dengan kondisi sebelum reformasi birokrasi diterapkan. Perbedaan waktu layanan paling mencolok dapat dirasakan oleh masyarakat pada saat mengajukan lembaga dana pensiun. Jika sebelumnya pengesahan pembentukan dana pensiun memakan waktu selama tiga bulan, sekarang hanya berlangsung selama tujuh hari kerja. Demikian pula halnya di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), untuk mengurus Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), sebelumnya dibutuhkan waktu 1 hari, setelah reformasi hanya membutuhkan waktu 1 jam.

Peningkatan Penerimaan Negara

Berdasarkan Keppres No. 15 Tahun 1971, tujuan pemberian Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) kepada Pegawai Departemen Keuangan antara lain untuk peningkatan dan pengamanan penerimaan dan pengeluaran negara, serta usaha preventif untuk menekan terjadinya penyimpangan.

Dilihat dari sisi penerimaan pajak, dari tahun 2004 hingga 2008, realisasi penerimaan pajak melonjak lebih dua kali lipatnya, yaitu dari Rp238,98 triliun menjadi sebesar Rp571,2 triliun. Dibandingkan dengan total anggaran remunerasi Kementerian Keuangan sekitar Rp5 triliun pertahun, hasil tersebut cukup sepadan. Data ini juga menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi berhasil meningkatkan penerimaan negara. Saat ini, sekitar 70% pendapatan negara dalam APBN berasal dari penerimaan pajak.

Selain itu, reformasi birokrasi telah memberikan kontribusi positif pada upaya pemberantasan korupsi di Indoneisa. Survei Transparency International (2009) mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia memperoleh skor 2.8 berada diurutan 111 diantara 180 negara. Nilai IPK Indonesia meningkat dibanding nilai 3 tahun terakhir, dari 1,9 pada 2003, menjadi 2,0 pada tahun 2004 dan naik menjadi 2,2 pada tahun 2005. Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa kontributor utama peningkatan skor Indonesia adalah reformasi di Departemen Keuangan serta pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi. Wakil Ketua KPK Haryono Umar berpendapat bahwa upaya pemberantasan korupsi akan lebih cepat apabila semua lembaga pemerintahan menerapkan reformasi seperti yang dilakukan Sri Mulyani di Kemenkeu. Sejak menduduki jabatan Menteri Keuangan, Sri Mulyani sudah memberikan sanksi kepada sekitar 1,961 pegawai (sampai dengan Agustus 2009), dimana hampir setengahnya terkait dengan tindakan korupsi.

Mencegah munculnya ”Gayus” yang lain

Ditengah appresiasi pihak dalam dan luar negeri atas upaya reformasi birokrasi di Kemenkeu, kasus Gayus menujukkan bahwa masih ada celah-celah yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan tindakan korupsi. Celah-celah ini tentunya tidak dapat ditutupi hanya dengan cara pencabutan remunerasi. Pencabutan remunerasi ini justru dapat menimbulkan dampak yang kontraproduktif, antara lain menyediakan justifikasi bagi aparat yang “nakal” untuk korupsi serta membuka jalan kepada aparat yang “jujur” untuk keluar dari PNS.

Mengacu pada riset Donald Cressey (1950) tentang faktor-faktor yang berkontribusi terhadap fraud. terdapat tiga faktor utama yang harus ditangkal untuk memitigasi risiko fraud, yaitu adanya motif/tekanan (pressure), peluang (opportunity) dan pembenaran (rationalization). Pencabutan remunerasi atau menggaji aparat dengan murah sama saja dengan menyediakan motif sekaligus pembenaran untuk melakukan korupsi.

Kembali kepada kisah aparat pajak yang disinggung di awal tulisan, walaupun tidak ada data empiris-nya, sebelum reformasi birokrasi di jalankan, sangat mudah ditemui pegawai Kemenkeu, terutama ”Anak STAN”, yang mengundurkan diri sebagai PNS. Alasan utama meraka adalah lingkungan kerja yang tidak ”kondusif”. Pada umumnya mereka ini adalah orang-orang yang punya integritas yang tinggi dan kemampuan yang mumpuni. Dengan modal seperti itu, orang-orang relatif mudah mendapatkan pekerjaan di tempat lain dengan gaji yang lebih memadai. Eksodus PNS ini sempat menimbulkan kekhawatiran apabila para aparat ”jujur” ini keluar semua, maka yang tinggal kemungkinan adalah aparat yang ”nakal” atau ”tidak laku” ditempat lain. Apa kata dunia?

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pencabutan remunerasi bukanlah jawaban yang tepat untuk mencegah munculnya ”Gayus” yang lain. Pembenahan proses bisnis, sistem pengawasan, peningkatan mutu SDM, serta penerapan reward and punishment yang lebih tegas adalah langkah yang jauh lebih efektif. Kasus Gayus harus dijadikan cambuk bagi jajaran Kementerian Keuangan untuk memperbaiki implementasi reformasi birokrasi serta merangkul kembali kepercayaan masyarakat.

***

Penulis adalah PhD student di Victoria University-Australia, pegawai Kementerian Keuangan, dan suami dari mantan pegawai DJP yang disinggung di awal tulisan ini.

No comments: